MAKALAH HUKUM ADAT DAN
KEARIFAN LOKAL
(HUKUM ADAT DI INDONESIA)
Di susun oleh:
Meira Wulandari
131615
Nidia Permata
Sari 1316150515
Noval Yurizal 131615
Dosen : Edi Riyanto, SH., MH
Jurusan/ Prodi :
Syariah/ Hukum Tata Negara
Fakultas : Syariah
dan Ekonomi Islam
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
TAHUN 2015
PEMBAHASAN
HUKUM ADAT DI INDONESIA
A. SEJARAH DAN LAHIRNYA HUKUM
ADAT
Dalam buku Van Vollenhoven berjudul “ De Ontdekking Van het Adatrecht” “Penemuan Hukum Adat” timbul pertanyaan,
siapa yang menemukan hukum adat? Apakah hukum adat ditemukan oleh orang
Indonesia? Sejak kapan Hukum Adat itu ditemukan? Tentu saja hukum adat tidak ditemukan oleh orang
Indonesia sendiri, ibarat orang yang hilang, tidakmungki ia menemukan
dirinya sendiri. Atau orang baru tentu
saja ia tidak menemukan dirinya sendiri. Oleh karena itu, Hukum Adat tentu
ditemukan oleh orang asing, sebab sebagaimana dikatakan oleh Vov
Savigny
Hukum itu ‘ist und mit dem volke’ yang
disebut ‘volkgeeist’ (Jiwa bangsa/ masyarakat). [1]
Indonesia sudah lama mempunyai Hukum
Adatnya sendiri, hanya saja baru terkenal dan dipelajari sejak banyak peneliti
Hukum dari luar negri masuk ke Indonesia bersamaan dengan para penjajah. Penemuan hukum adat
tidak dilakukan dengan sengaja artinya oleh seseorang yang memang sengaja
melalui sebuah proyek untuk mencari dan menemukan hukum Adat.
Penemuan Hukum Adat terjadi
sejak akhir abad 19 dan 20 sebagai
akibat dari peningkatan perhatian orang terhadap Hukum Adat
masyarakat-masyarakat sedrhana di Wilayah Indonesia. Para perintis Hukum Adt
tidak hanya melakukan sebuah gambaran tentang kebudayaan, tetapi lebih fokus
dan spesifik yaitu Hukum Adat, bahkan lebih spesifik lagi seperti Hukum adat
Tanah, atau Desa dan sebagainya. Banyak dalam Buku-buku Hukum Adat ini yang
menulis tentang daerah-daerah di Bengkulu adau suku-suku di Bengkulu, walaupun
tidak ada penjabaran yang lengkap didalamnya. Hal itu dikarenakan dulunya
banyak perintis yang melakukan
penelitian di wilayah Bengkulu sperti Willian Marsden pernah meneliti daerah
Rejang, Thomas Stamford Raffles penelitiannya di wilayah Bengkulu. [2]Dan
masih ada beberapa lainnya.
Hukum adat ditemukan melalui
sebuah proses panjang melalui tahap-tahap:
a. Rasa ketertarikan seseorang ketika melihat bahwa ada
sebuah adat kebiasaan atau adat istiadat yang berbeda dengan adat istiadat di
daerah mereka. Mereka melakukan
deskripsi tentang perjalannnya, pengalaman sehari-hari mereka, gambaran ini di sebut Etnografi
b. Dari rasa ketertarikan itu meningkat menjadi sebuah
studi tentang kebudayaan masyarakat
(pendekatan) disebut dengan Etnologi.
c. Lalu menningkat menjadi Antropologi( manusia an kebudayaan, dimana
terdapat didalamnya hukum adat).
Berbicara
tentang sejarah Hukum Adat, maka kiranya dapat dikemukakan, bahwa sejarah hukum
adat itu dapat dipisah-pisahkan dalam:
a) Sejarah proses pertumbuhan atau
perkembangan hukum Adat itu sendiri.
b) Sejarah Hukum Adat sebagai sistem Hukum
dari tidak/ belum
dikenal hingga samapai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.
c) Sejarah kedudukan Hukum Adat, sebagai
masalah politik Hukum, di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia
Namun pada makalah ini kami
akan membahas Sejarah proses perkembangan Hukum adat saja (point a),
karena dua materi lainnya akan dibahas
dalam makalah selanjutnya.
Proses
Perkembangan HukumAdat
Hukum adat lahir dari dan dipelihara
oleh keputusan-keputusan, keputusan para warga masyarakat hukum, terutama
keputusan berwibawa dari kepala-kepala
rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum; atau dalam hal
bertentangan kepentingan-keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang
keputusan-keputusan itu-karena kesewenangan atau kurang pengertian- tidak
bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat. Serta
pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya
berlaku serta-merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati.
Keputusan itu bukan saja
keputusan mengenai suatu sengketa resmi, tetapi juga diluar itu berdasarkan
keturunan (musyawarah) dan keputusan tersebut diambil dari nilai-nilai yang hidup sesuai dengan
alam rohani dn hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan itu.
Indonesia ini kaya dengan Hukum Adatnya.
Misalnya pada tahun 1000. Masa
pemerintahan raja Dharmawangsa di Jawa Timur telah disusun sebuah kitab hukum
namanya Civacasana yang merupakan kitab hukum tertua. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk tahun 1331-1364
dengan patihnya yang terkenal bernama
Gajahmanda juga membuat kitab hukum
bernama Gajahmada. Pengganti Gajah Manda , tahun 1413-1430 Kanaka
juga demikian memerintahkan untuk
dibuatkan sebuah kitab hukum sebagai
pedoman bagi anggota masyarakatnya, untuk
berprilaku, namanya Adigma. Di
Bali juga ditemukan sebuah kitab
hukum bernama Kutaramanawa.
Dengan melihat kitab-kitab hukum
diatas, sebenarnya jauh sebelum
kedatangan bangsa Barat
seperti Spanyol , Portugal, Belanda dan Inggreis, sejak Abad ke- IV yaitu kedatangan bangsa
Hindu dari India, karena pengaruh
kerajaan-kerajan itu, mereka telaah
mengenal aturan-aturan sebagai pedoman berprilaku yang kita sebut Hukum. Jadi ,di negeri ini bukannya
negeri yang tanpa hukum.tidak hanya itu,pada komunitas-komunitas lokal,seperti
di flores,sumba,bali,dan nusa tenggara mereka telah mengenal aturan hidup yang
kita disebut hukum.kitab-kitab hukum itu,baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis karena pengaruh politik yaitu
kerajaan- kerajaan.akan tetapi,dimana suku-suku tangberpengaruh
yaitu masyarakat tanpa kerajaan,mereka juga mengenal aturan aturan berperilaku
namun tidak tertulis.disamping itu ada beberapa kitab kuno pada beberapa hukum
adat seperti:
a. Di Tapanuli
Ruhut Parsaoran di Habatahon (Kehidupan Sosial di tanah
Batak)
Patik Dohot Uhum ni
Halak Batak (Undang-undang dan Ketentuan-ketentuan Batak)
b. Di Jambi
Undang-undang Jambi
c. Di Palembang
Undang-undang Simbur
Cahaya (Undang-undang tentang Tanah di daratan tinggi daerah Palembang).
d. Di Minangkabau
Undang-undang Nan Dua
puluh ( Undang-undang tentang Hukum adat
delik di Minangkabau)
e. Di Sulawesi Selatan
Buku
Undang-undang perniagaan dan pelayaran dari suku Bugis Wajo. Kumpulan
keputusan-keputusan serta pemberitahuan para raja-raja yang disebut Latowa
(Bugis) dan Rampang (Makasar).
f. Di Bali
Awig-awig (Peraturan
Subak dan desa) dan agama desa ( perturan desa) yang ditulis diatas daun
lontar.
g. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan
Kerajaan amupun kesultanan dahulu, seperti sebagai berikut:
-
Di
Jawa
Mataram- Kediri/Singosari-Mojopahit-Demak/Pajang-Mataram
II-Sunan Pakubuwono –Sultan Hamengkubuwono-Mangkunagoro- Paku Alam-
Tarumanegara-Pajajaran- Jakarta- Banten- Cirebon.
-
Di
Sumatera
Sriwijaya, Indragiri,
Asahan, serdang, langkat, deli, Aceh
-
Di
Kalimantan
Pontianak,
Kutai Bulungan
-
Di
Sulawei
Goa, Bone, Bolaang
Mongandow, Talaud, BOUL.
-
Di
Maluku
Ternate, Tidore
-
DI
Nusa Tenggara
Peraturan
adat istiadat kita ini, pada hakikatnya
sudah terdapat pada zaman kuno, zaman
pra Hindu. Adat
istiadat yang sudah hidup dalam masyarakat pra-Hindu tersebut menurut para
ahli-ahli hukum adat merupakan adat-adat melayu- Polinesia.
Lambat laun
datang dari kepulauan kita ini kultur Hindu, kemudian kultur Islam dan kultur kristen yang
masing-masing memengaruhi kultur asli tersebut.
Pengaruh kultur-kultur pendatang dimaksud diatas
itu sangat besar, sehingga
akhirnya kultur asli yang sejak lama menguasai
tata kehidupan masyarakat Indonesia itu terdesak. Dan kini menurut keadaan serta kenyataan hukum adat yang hidup
pada rakyt itu adalah merupakan hasil akulturasi antara peraturan-peraturan
adat istiadat jaman pra Hindu dengan peraturan-peraturan hidup yang dibawa kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen.
Hasil akulturasi ini dapat digambarkan seperti oleh Dr. Soekanto dalam bukunya
“ Meninjau Hukum Adat Indonesia”
halaman 54 menyatakan sebagai berikut:” Jika kita mengeluarkan pertanyaan, hukum apakah
menurut kebenaran, keadaan, yang bahagian terbesar terdapat dalam hukum adat
Indonesia, jawbannya ialah: Hukum Melayu- Polinesia yang asli itu, dengan
disana-sini sebagai bahagian yang kecil, hukum-agama.
Hukum Adat:
1. Hukum Asli.
2. Bagian-bagian dari Agama
Prof. Djojodigoeno menyatakan bahwa
pokok pangkal hukum adat Indonesia adalah ugeran-ugeran yang dapat disimpulkan
dari sumber-sumber tersebut diatas (kekuasaan pemerintah negara atau salah satu
sendinya dan kekuasaan masyarakat
sendiri) dan timbul langsung sebagai pernyataan kebudayaan orang
Indonesia asli, tegasnya sebagai pernyataan
rasa keadilan dalam hubungan pamrih.
Unsur lainnya yang tidak begitu
besar artinya atau luas pengaruhnya ialah unsur keagamaan,
teristimewa unsur-unsur yang dibawa agama Islam; pengaruh agama Hindu dan
Kristen pun ada juga”.
Prof. Mr. Cornelis Van
Vollenhoven:
Dalam bukunya "Het Adatrecht van
Nederland Indie” jilid I eerste stuk dalam halam 9 menggambarkan hukum adat
beserta unsur-unsurnya sebagai berikut:
“Inlandsrecht”
(Hukum Adat atau Hukum
Pribumi)
Hukum Tidak tertulis Yang
ditulis
(Jus non Scriptum) (jus Scriptum)
Hukum Asli Penduduk Ketentuan-ketentuan
Hukum Agama
Oleh karena itu menyinggung
sedikit teor-teori berikut yang berhubungan antara Hukum Adat dan Agama:
1.Receptio
in Complexu
Receptio in Complexu merupakan teori
yang dikemukakan oleh Lodewijk Willem Christian Van Den
Berg (1845–1927). Teori ini bermakna bahwa hukum yang diyakini dan
dilaksanakan oleh seseorang seharmoni dengan agama yang diimaninya. Oleh sebab
itu, jika seseorang beragama Islam maka secara langsung hukum Islamlah yang
berlaku baginya, demikian seterusnya. Dengan kata lain, teori ini dapat
dipadankan dengan sebutan “teori penerimaan secara kompleks atau sempurna”.
2.
Receptie Theorie
Receptie Theorie atau teori resepsi merupakan
teori yang diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857–1936).
Teori ini selanjutnya ditumbuhkembangkan oleh pakar hukum adat Cornelis
Van Vollenhoven (1874–1933) dan Betrand Ter Haar (1892–1941).
Teori
resepsi berawal dari kesimpulan yang menyatakan bahwa hukum Islam baru diakui
dan dilaksanakan sebagai hukum ketika hukum adat telah menerimanya. Terpahami
di sini bahwa hukum Islam berada di bawah hukum adat. Oleh karena itu, jika
didapati hukum Islam dipraktekkan di dalam kehidupan masyarakat pada hakikatnya
ia bukanlah hukum Islam melainkan hukum adat. Teori ini dapat pula dipadankan
dengan sebutan “teori penerimaan”.
3.
Receptio a Contrario
Sebagaimana
diutarakan di depan bahwa teori ini merupakan teori pematah–populer yang
dikemukakan oleh Hazairin (1906–1975) dan Sajuti
Thalib (1929–1990). Dikatakan sebagai teori pematah karena teori ini
menyatakan pendapat yang sama sekali berlawanan arah dengan receptie theorie
Christian Snouck Hurgronje di atas. Pada teori ini justru hukum adat-lah yang
berada di bawah hukum Islam dan harus sejiwa dengan hukum Islam. Dengan sebutan
lain, hukum adat baru dapat berlaku jika telah dilegalisasi oleh hukum Islam[4].
B. PENGERTIAN HUKUM ADAT
Kata adat sebenarnya berasal dari bahasa
Arab yang berarti kebijaksanaan. Pendapat lain menyatakan, bahwa adat
sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta a (berarti “bukan”) dan dato (yang
artinya “sifat kebendaan”). Dengan demikian, maka adat sebenarnya berarti sifat
immateriil: artinya, adat menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan sistem
kepercayaan.
Menurut M. Nasroen, maka “adat”
minangkabau merupakan suatu sistem pandangan hidup yang kekal, segar serta
aktual, oleh karena didasarkan pada:
1. Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada
alam yang nyata dan juga pada nilai positif, teladan baik serta keadaan yang
berkembang.
2. Kebersamaan dalam arti, seseorang untuk
kepentingan bersama dan kepentingan bersama untuk seseorang.
3. Kemakmuran yang merata.
4. Pertimbangan pertentangan, yakni
pertentangan, yakni pertentangan dihadapi secara nyata serta dengan mufakat
berdasarkan alur dan kepatutan.
5. Meletakkan sesuatu pada tempanya dan
menempuh jalan tengah.
6. Menyesuaikan diri dengan kenyataan.
Menurut sistem adat
Minangkabau maka adat sebenarnya dibagi empat yakni;
1. Adat nan sabana adat, ialah sesuatu yang
seharusnya menurut alur dan patut, segharusnya menurut agama, menurut
perikemanusiaan, menurut tempat dan menurut masa.
2. Adat nan teradat... adalah berdasarkan
kenyataan terdapatnya perbedaan-perbedaan dalam keadaan, umpamanya keadaan
sesuatu negeri dengan negeri yang lain.
3. Adat nan diadatkan.. adalah sesuatunya
yang didasarkan atas mupakat ini harus pula berdasarkan alur dan patut.[6]
4. Adat istiadat.
Didalam penelittian yang pernah diadakan
oleh Fakultas Hukum Universitas Andalas dinyatakan antara lainsebagai berikut:
“pada
umumnya adat itu dibagi atas 4 bagian, yaitu:
1. Adat yang sebanar adat, ini adalah
merupakan undang-undang alam. Dimana dan kapanpun dia akan tetap sama, antara
lain adat air membasahi, adat api membakar dan sebagainya.
2. Adat istiadat ini adalah peraturan
pedoman hidup diseluruh daerah ini yang diperuntukkan selama ini, waris yang
dijawek, pusako nan ditolong, artinya diterima oleh generasi yang sekarang dari
generasi yang dahulu supaya dapat kokoh berdirinya.
3. Adat nan teradat ini adalah kebiasaan
setempat. Dapat ditambah ataupun dikurangi menurut tempat dan waktu.
4. Adat yang diadatkan. Ini adalah adat
yang dapat dipakai setempat, seperti dalam satu daerah adat menyebut dalam
perkawinan mempelai harus memakai pakaian kebesaran, kalau tidak maka helat
tidak akan menjadi; tapi pada waktu sekarang karena sukar mencari pakaian
kebesaran itu maka pakaian bisa saja dapat dipakai oleh memepelai tadi.
Maksud dari penjelasan di atas mengenai
adat, adalah untuk mendapatkan suatu gambaran yang diambil dari kenyataan di
Indonesia, untuk di masukkan dalam kerangka perkembanagn dari perilaku hingga
menjadi hukum adat, yang pendekatannya bersifat sosiologis. Bagaimanakah perkembangan
selanjutya, sehingga adat-istiadat menjadi hukum adat.
Adat istiadat mempunyai ikatan dan
pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Kekuatan mengikatnya tergantung pada
masyarakat (atau bagian masyarakat) yang mendukung adat istiadat tersebut
terutama yang berpangkal tolak pada perasaan keadilannya.
Untuk mengetahui bilamanakah hukum adat
timbul, maka perlu ditelaah perihal perwujudan kaidah hukum yang merupakan
kenyataan hukum.
“kaidah
hukum didalam kenyatannya terwujud didalam pergaulan hidup manusia.”
Yang dimaksud keputusan hukum
(rechtsbeslissing), adalah sebagai berikut:
“semua perilaku dalam pergaulan hidup
yang didasarkan pada dan terdorong oleh pandangan hukum, yang dpat diketahui
dari anggapan tentang keawajiban pribadi serta pribadi-pribadi lainnya,
merupakan keputusan hukum dalam artian ini adalah, keputusan untuk
melangsungkan perkawinan, penguasaan atas harta waris, mengadakan
perjanjian-perjanjian, pembayaran, pelepasan, pemberian izin, pemberi
keputusan, pengeluaran undang-undang.”
Terjemahan bebas dari inti ajaran
keputusan tersebut, adalah sebagai berikut, adalah sebagai berikut:
1. Apabila para warga masyarakat
berperilaku yang ternyata didasarkan kepada keyakinan bahwa masyarakat
menghendakinya dan dapat memaksakan hal itu dapat dinamakan keputusan hukum
dari warga-warga masyarakat.
2. Tidak ada suatu alasan untuk menyebut
hal lain sebagai hukum, kecuali keputusan-keputusan yang mengandung hukum, dari
pejabat-pejabat hukum yang telah diangkat.
Dengan demikian dapatlah dikataka, bahwa
keputusan yang diambil oleh penguasa kepala adat dan hakim, haruslah dilihat
sebagai suatu kaidah hukum individual yang menyimpulkan kaidah hukum kaidah
hukum umum yang berlaku bagi kasus-kasus yang sama. Mereka yang berwenang untuk
memberikan keputusan harus sadar akan tanggung jawabnya turut membentuk hukum,
dan memperhatikan keputusan-keputusan sebelumnya dari mereka yang berwenang
pula.
Selain itu mengenai
pengertian Hukum Adat ini dapat pula kita pahami berdasarkan
pendapat para ahli, seperti berikut:
a. Prof. MR c. Van Vollenhoven
Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber dari kepada
peraturan-peratuan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau
alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh
kekuasaan Belanda Dahulu. [7]
b. Mr. B. Terhaar Bzn
Hukum
adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari
kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar
terkenal dengan teori “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu
adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap
penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila
penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat
itu sudah merupakan hukum adat.
c. Dr. Sukanto, S.H.
Hukum
adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak
dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat
hukum.
d. Mr. J.H.P. Bellefroit
Hukum
adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh
penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa
peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.[8]
e. Prof. M.M. Djojodigoeno, S.H.
Hukum adat adalah hukum yang tidak
bersumber kepada peraturan peraturan.
f. Prof. Dr. Hazairin
Hukum
adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu kaidah kaidah kesusialaan
yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.
g. Soeroyo Wignyodipuro, S.H.
Hukum
adat adalah suatu ompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan
rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan peraturan tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagaian besar tidak
tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat
hukum ( sanksi ).
h. Prof. Dr. Soepomo, S.H.
Hukum
adat adalah hukum tidak tertulis didalam peraturan tidak tertulis, meliputi
peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib
tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya
peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa Hukum
adat itu adalah suatu kompleks
norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang
serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan
sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati
dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
C.
WILAYAH HUKUM ADAT
Prof. Mr. Cornelis van
Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat
(rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum
adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum
adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut kukuban
hukum (Rechtsgouw). Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut.
1. Aceh
(Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
2. Tanah
Gayo, Alas dan Batak
1. Tanah
Gayo (Gayo lueus)
2. Tanah
Alas
3. Tanah
Batak (Tapanuli)
1. Tapanuli
Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir,
Balige, Laguboti, Lumbun Julu)
2. Tapanuli
Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)
3. Nias
(Nias Selatan)
3. Tanah
Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)
4. Mentawai
(Orang Pagai)
5. Sumatera
Selatan
1. Bengkulu
(Renjang)
2. Lampung
(Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)
3. Palembang
(Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
4. Jambi
(Batin dan Penghulu)
5. Enggano
6. Tanah
Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar)
7. Bangka
dan Belitung
8. kalimantan
(Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan,
Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan
Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan)
9. Gorontalo
(Bolaang Mongondow, Suwawa, Boilohuto, Paguyaman)
10. Tanah
Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili,
Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai)
11. Sulawesi
Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar,
Muna)
12. Kepulauan
Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Kao, Tobelo, Kep. Sula)
13. Maluku
Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep.
Aru, Kisar)
14. Irian
15. Kep.
Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba
Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima)
16. Bali
dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng,
Jembrana, Lombok, Sumbawa)
17. Jawa
Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa
Timur, Surabaya, Madura)
18. Daerah
Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta)
D. SUMBER-SUMBER HUKUM ADAT
Menurut Prof. M.M. Djojodigoeno S.H
Sumber Hukum Adat Indonesia adalah ugeran-ugeran (norma-norma kehidupan
sehari-hari) yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang Indonesia
Asli, tegasnya sebagai pernyataan rasa keadilannyadalam hubungan pamrih.
(Hubungan pamrih adalah hubungan antar orang dengan sesamanya guna usaha
memenuhi kepentingan= “business relations”, “ zakelijke verhoudingen”). [10]
Lain halnya seperti
yang terdapat dalam
buku Soerjono Soekanto Sumber-Sumber Hukum Adat Terdiri:
1. Kebiasaan dan adat istiadat yang
berhubungan dengan tradisi rakyat
2. Kebudayaan tradisional rakyat
3. Ugeran-ugeran yang langsung timbul
sebagai pernyataan kebudayaan orang Indonesia asli, tegasnya sebagai pernyataan
rasa keadilan dalam hubungan pamrih
4. Perasaan keadilan yang hidup dalam hati
nurani rakyat
5. Pepatah-pepatah adat
6. Yurisprudensi adat
7. Laporan-laporan dari komisi-komisi
penelitian yang khusus dibentuk
8. Dokumen-dokumen berisi
ketentuan-ketentuan hokum yang hidup pada masa itu baik berupa piagam-piagam (pepakem
cirebon) peraturan-peraturan (awing-awing) mapun keputusn-keputusan
(rapang-rapang makasar)
9. Buku undang-undang yang dikeluarkan
raja-raja atau sultan-sultan
10. Buku-buku yang ditulis oleh para sarjana
E. UNSUR-UNSUR
Menurut Soerojo dalam bukunya Hukum Adat
memiliki dua unsur, yaitu:
1. Unsur Kenyataan: bahwa adat itu dalam
keadaaan yang sama selalu diindahkan
oleh rakyat.
2. Unsur Psikologis,bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimaksud mempunyai
kekuatan hukum.
Unsur
inilah yang menimbulkan adanya kewajiban
hukum( opinio yuris necessitatis).
Selain itu Soerjono Soekanto
dalam bukunya juga menyebutkan Unsur-unsur Hukum Adat sebagai berikut:
1. Hukum asli Indonesia
2. Hukum agama
3. Kenyataan walaupun hukum adat ini tidak
tertulis tapi dipatuhi oleh masyarakat
5. Bidang-bidang hukum adat
Adapun Unsur lainnya yang kami kutip, unsur- unsur
Hukum Adat terdiri dari:
1. Unsur Asli
a. Perbuatan Tingkah Laku masyarakat
b.
Keputusan- keputusan para tokoh adat/para yg berwibawa
c. unsur Agama
2. Unsur Asing
Terbentuknya hukum adat melalui unsur
asing, itudikarenakan hukum adat bersifat terbuka, ia tidak menolak unsur-unsur
yang datang dari luar, asalsaja tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu
sendiri. [12]
contoh : terjadinya perkawinan di antara dua orangyang
berbeda adat.
F. BIDANG-BIDANG HUKUM ADAT
Mengenai pembidangan hukum adat terdapat
berbagai variasi, yang berusaha untuk mengidentifikasikan kekhususan hukum
adat, apabila dibandingkan dengan hukum barat. Van volienhopen berpebdapat
bahwa pembidangan hukum adat adalah sebagai berikut[13]:
1. Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat
2. Tentang pribadi
3. Pemerintah dan peradilan
4. Hukum keluarga
5. Hukum waris
6. Hukum perkawinan
7. Hukum tanah
8. Hukum hutang piutang
9. Hukum delik
10. Sistem sanksi
11. Hukum pelanggaran
Di dalam bukunya yang berjudul Het
Adatprivaatrecht van west Jawa (19533) yang kemudian diterjemahkan oleh Ny.
Nani Soewondo dengan judul Hukum Perdata Adat Jawa Barat, Soepomo menyajikan
pembidangan, sebagai berikut:
1. Hukum keluarga
2. Hukum perkawinan
3. Hukum waris
4. Hukum tanah
5. Hukum hutang piutang
6. Hukum pelanggaran
Ter Haar didalam bukunya Beginselen en
stelsel van bet Adat-recht, mengemukakan pembidangan, sebagai berikut:
1. Tata masyarakat
2. Hak-hak atas tanah
3. Transaksi-transaksi tanah
4. Transaksi-transaksi dimana tanah
tersangkut
5. Hukum hutang piutang
6. Lembaga/yayasan
7. Hukum pribadi
8. Hkum keluarga
9. Hukum perkawinan
10. Hukum delik
11. Pengaruh lampau waktu
Pembidangan hukum adat sebagaiman
adikemukakan oelh para sarjana tersebut diatas, cebderung untuk di ikuti oelh
para ahli hukum adat pada dewasa ini[14]. Surojo
Wignjodiporo, misalnya, menyajikan pembidangan sebagai berikut;
1. Tata susunan rakyat indonesia
2. Hukum perseorangan
3. Hukum kekeluargaan
4. Hukum perkawinan
5. Hukum harta perkawinan
6. Hukum (adat) waris
7. Hukum tanah
8. Hukum hutang piutanghukum (adat) delik
Soerjono dalam bukunya membagi bidang-bidang Hukum Adat Meliputi:
1.
Hukum Negara
2.
Hukum Tata Usaha Negara
3.
Hukum Pidana ( Soepomo: Hukum Adat Delik)
4.
Hukum Perdata
5.
Hukum Antar Bangsa Adat[15]
Dari semua macam
hukum (Soerjono) tersebut diatas, hanya hukum perdata Adat materiil-lah yang
tidak terdesak oleh zaman penjajahan, sehingga olehk\ karenanya hingga kini
masih berlaku dengan mengalami pengaruh-pengaruh yang tidak sedikit. Sistem
hukum adat sesungguhnya tidak mengenal pembagian hukum dalam dua golongan:
hukum privat/sipil dan hukum publik. Pembagian yang demikian ini adlah
diintrodusir oleh para sarjana Hukum Barat (Belanda) yang memiliki sistematik
hukum yang melandaskan pada golongan yang demikian itu.
Pelbagai pembidangan tersebut diatas,
disajikan agar mendapatkan suatu gambaran yang relatif menyeluruh. Pembidangan
hukum adat harus merupakan suatu refleksi dari sistem masyarakat yang mendukung
hukum adat tersebut. Refleksi tersebut akan diperoleh dengan menetapkan metode
indukatif, yang bertitik tolak pada kekhususan-kekhususan untuk kemudian
disimpulakan menjadi suatu pola yang umum sifatnya.
Dengan melakukan klafikasi, maka dapat dilakukan inventarisasi terhadap siapa
yang menjadi pejabat/penguasa pada suatu masyarakat dan sudah tentu istilah
yang dipergunakan untuk menyebut sipa penguasa itu tidak sama untuk tiap
masyarakat yang bersangkutan.
G. MASYARAKAT HUKUM ADAT
Suatu masyarakat merupakan suatu bentuk
kehidupan bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan
kebudayaan. Masyarakat merupakan suatu sistem sosial, yang menjadi wadah dari
pola-pola interaksi sosial atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar
kelompok sosial.
Hazarin memberikan suatu uraian yang relatif
panjang mengenai masyarakat hukum adat, sebagai berikut[16].
“masyarakat-masyrakat Hukum Adat seperti
desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, kuria di
Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan
yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu
mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan
kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air
bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal,
atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahnya terutama berlandaskan atas
pertanian, peternakan, perikanan, dan pemungutan hasil hutan dan hasil air,
ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan
tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka
berciri; komunal, dimana gotong royong, tolong menolong, serasa dan selalu
mempunyai peranan yang besar.”[17]
Selanjutnya, maka Hazarin menyatakan,
bahwa masyarakat-masyarakat hukum adat tersebut juga terangkum dalam pasal 18
Undang-Undang Dasar 194, yang isinya adalah sebagai berikut:
“pembagian daerah Indonesia atas daerah
besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya, ditetapkan dengan
undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa.”
Penjelasannya
adalah sebagai berikut:
1. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu
eenbeidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya
yang bersifat Staat juga.
Daerah Indonesia akan
dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah
yang lebih kecil,
Didaerah-daerah yang
otonom (streek dan locale rechtsge meenschappen) atau bersifat daerah
administrasi belaka, semuanyaa menurut aturan yang akan ditetapkan dengan
undang-undang.
Di daerah-daerah yang
bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerahh, oleh karena di daerah
pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
2. Dalam teritorial Negara
Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dabn
Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negari di Minangkabau, dusn
dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mmepunyai susunan
asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati
kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturannegara mengenai
daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Apabila setiap masyarakat hukum adat
tersebut ditelaah secara seksama maka masing-masing mempunyai dasar dan
bentuknya. Menurut Soepomo, maka masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia
dapat dibagi atas dua golongan menurut dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan
pertalian suatu keturunan (genealogi) dan yang berdasar lingkungan daerah
(territorial); kemudian hal itu ditambah lagi dengan susunan yang didasarkan
pada kedua dasartersebut diata. Dari sudut bentuknya, maka masyarakat hukum
adat tersebut ada yang berdiri sendiri, menjadi bagian dari masyarakat hukum
adat yang lebig tinggi atau mencakup beberapa masyrakat hukum yang lebih
rendah, serta merupakan perserikatan dari beberapa masyarakat hukum yang
sederajat. Masing-masing bentuk masyarakat hukum adat tersebut, dapat dinamakan
sebagai masyarakat hukum adat yang tinggal. Masyarakat Hukum Adat.
Suatu contoh masyarakat hukum adat yang
diambil berdasar data primer, adalah masyarakat hukum adat yang diambil
berdasar data primer, adalah masyarakat hukum adat yang dijumpai di Daerah
Lampung (“lampung” berasal dari kata “lampung” yang berati mengambang di air)
menurut cerita-cerita orang-orang tua, berasal dari daerah Segala Berak
Pagaruyung yang terletak didataran berlalau, di kaku Bukit Pesagi disebelah
selatan danau ranau, Krui. diceritakan bahwa pada waktu itu berdiam beberapa
clan (kebudayaan) di daerah tersebut. Oleh sebab beberaoa alasan tertentu,
mereka kemudian menyebar dan merantau kesegenap penjuru daerah yang sekarang
dinamakan Lampung, diujung pulau Sumatera yang luasnya hampir sama dengan
daerah Jawa Tengah.
Contoh lain sebagai berikut:
Di
Tapanuli
Masyarakat hukum adat di Tapanuli,
adalah masyarakat hukum yang mempunyai bentuk bertingkat. Masyarakat hukum adat
atasan disebut kuria (Tapanuli Selatan) dan Luhat (Padanglawas). Masyarakaat
hukum adat atasan ini terdiri dari beberapa masyarakat hukum adat bawahan yang
disebut huta. Kepala kuria dan kepala huta adalah seorang yang berasal dari
marga asal, yaitun seorang keturunan pembuka tanah dan pembuka huta . kepala
kuria disebut Raja Panusunan. Marga-marga yang lain yang ikut bertempat tinggal
di dalam huta atau kuria itu mempunyai seorang wakil.wakil dari marga lain yang
lebig dulu tinggal di dalam huta atau kuria itu merupakan pembantu pertama dari
kepala kuria (raja panusunan) atau kepala huta. Wakil utama itu disebut dengan
Raja Imboru (Tapanuli Tengah), Bayo-bayo Na Godang (Tapanuli Selatan). Wakil
dari marga lainnya disebut Natoras[18].
Di
Minangkabau
Di Minangkabau terdapat bentuk
masyarakat hukum adat bertigkat. Masyarakat hukum adat atasan di sini disebut
Nagari. Nagari terdiri atas suku-suku, yang masing-masing suku dikepalai oleh
seorang kepala suku.
Di daerah Tanah Agam di mana berlaku
adat Bodi Caniago, pimpinan Nageri terletak di tangan permufakatan para
penghulu andiko yang sederajat kedudukannya. Kerapatan Nageri di sinimerupakan
lembaga kekuasaan yang tertinggi.
Di daerah Koto Piliang (Tanah Datar dan
Limapuluh Koto) suku dikepalai oleh kepala suku, yang dinegeri Taram disebut
sebaga Pucuk Suku mempunyai penghulu-penghulu bawahan yaitu: bendaro, panglimo
dan kadi. Pejabat-pejabat ini bersama-sama atau sendiri-sendiri juga disebut
penghulu kaampek suku, mempunyai sejumlah penghulu andiko di bawah
kekuasaannya. Bandaro mempunyai juga seorang pejabat bawahan yang khusus yang
disebut mantri, sedang hulubalang, adalah bawahan dari panglimo. Kadi mempunyai
kekuasaan atas tiga pejabat tertentu, yaitu imam, chatib dan bilal[19].
Mantri, adalah petugas yang dapat
disamakan dengan polisi. Ia menyampaikan surat-surat dari penguasa-penguasa
suku, mengumumkan keputusan-keputusan dan menangkap mereka yang dipandang
merugikan suku Hulubalang, adalah petugas yang bertanggung jawab mengenai
pertahanan masyrakat.
Di
Sumatera Selatan
Di sini, masyarakat hukum adat atasannya
disebut marga, sedangkan dusun untuk masyrakat hkum adat bawahan. Marga
dipimpin oleh kepala marga yang disebut pusirah, sedangkan dusun dipimpin oleh
kria, protain atau mangku.
Di
Jawa Barat, Tengah, Timur dan Bali:
Masyarakat hukum adat di sini pada
umumnya disebut desa. Dan digambarkan sebagai masyarakat hukum yang berbentuk
tunggal. Desa dikepalai oleh seorang kepala desa yang disebut: jaro (banten),
lurah, kuwu, bekel, atau petinggi (Jawa Tengah dan Timur) dan Klian (Bali).
Di dalam melaksanakan peranannya
sehari-hari, kepala desa dibantu okeh sekelompok orang yang tergabung sebagai
perabot desa. Di Jawa, desa mempunyai perabot desa yang anatara lain adalah:
Conkoq = wakil kepala desa,
Carik = penulis,
Kamitua = bendahara desa,
Bayan = pesuruh desa,
Modin/kaum = petugas keagamaan (islam)
Jaga-baga = petugas kepolisian, dan
Ulu-ulu = perugas irigasi.
Pada federasi desa, umpamanya di Jawa
Tengah bagian Selatan kepala federasi perabot di namakan Glondong[20].
Selain dari pada beberapa masyarakat
hukum adat yang telah dijadikancontoh dalam membicarakan mengenai bentuk
masyarakat hukum adat seperti yang telah dibicarakan tadi, dibawah ini
ditampilkan pula beberapa contoh masyarak hukum adat lain, dengan maksud agar
dapat diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai bentuk masyarakat hukum adat
yang ada di Indonesia
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hukum adat itu adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada
perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi
peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati
oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi). Hukum adat lahir dari dan
dipelihara oleh keputusan-keputusan, keputusan para warga masyarakat hukum,
terutama keputusan berwibawa dari
kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum.
keputusan tersebut diambil dari
nilai-nilai yang hidup sesuai
dengan alam rohani dn hidup kemasyarakatan
anggota-anggota persekutuan itu.
Jauh sebelum kedatangan
bangsa Barat seperti Spanyol , Portugal, Belanda dan
Inggreis, sejak Abad ke- IV yaitu kedatangan bangsa
Hindu dari India, karena pengaruh
kerajaan-kerajan yang ada di
Indonesia maka masyarakat
Indonesia dapat kita sebut telah mengenal
aturan-aturan sebagai pedoman
berprilaku yang kita sebut Hukum. Jadi negeri ini bukannya negeri yang tanpa hukum.
tidak hanya itu, pada komunitas-komunitas lokal, seperti di flores, sumba,
bali,dan nusa tenggara mereka telah mengenal aturan hidup yang kita disebut
hukum.
B. SARAN
Perubahan-perubahan Hukum adat yang ada di Indonesia, tak lepas
dari pengaruh barat tempo dulu, oleh karena itu mari kita sekarang sama-sama
mulai menjaga Hukum Adat di Indonesia,
karena tak dapat dipungkiri kearifan lokal dan warisn budaya yang kita miliki
sangat menarik perhatian asing untuk mempelajarinya.
NB. CANTUMKAN ALAMAT BILA INGIN MENGCOPY
DAFTAR PUSTAKA
Rato, Dominikus. 2014. Hukum Adat di Indonesia
(Suatu Pengantar). Laksbang Justitia: Surabaya
Haar, Ther. 1980. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat.
Pradnya Paramita: Jakarta Pusat
Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1984 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat
Istiadat Ditingkat Desa/kelurahan
Soekanto, Soerjono.
2005.Hukum Adat Indonesia. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Ismail, Badruzzaman. 2003. Bunga Rampai
Hukum Adat. Banda aceh
Soekanto, Soerjono. 1986. Kedudukan Kepala Desa
Sebagai Hakim Perdamaian. Cv Rajawali: Jakarta
[2] Ibid hlm 157
[3] Soerjono Wigndjodiporoe.
Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. PT. Toko Gunung Agung.1995. hlm 28
[6] Ibid hal 72
[9] http://mnahyanzullfikar.blogspot.co.id/2014/11/makalah-hukum-adat.html diunduh 17 September
2015
[19] Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1984 Tentang Pembinaan
dan Pengembangan Adat Istiadat Ditingkat Desa/kelurahan
[20] ibid
iya sama2
BalasHapusCOPAS
BalasHapusslam kenal mbak, sesama bloger bengkulu..
BalasHapusizin copas ya mbak
BalasHapus